Selasa, 17 April 2012

Pemandian Air Panas Candi Umbul

Kolam pemandian candi umbul juga disebut dengan nama lain pemandian air panas candi umbul, pemandian airhangat candi umbul atau candi umbul saja. Namun apapun sebutanya tak akan berpengaruh bagi masyarakat sekitar candi untuk menunjukan arah ketika kita tersesat kebingungan arah jalan menuju lokasi pemandian air hangat ini, karena di sekitar tempat tersebut hanya ada satu tempat pemandian air hangat yaitu candi umbul.


Dalam perjalan menuju lokasi tempatwisata ini saya sempat kebablasan sekitar duaratus meter, untunglah ketika ada di jembatan kali elo, candi itu terlihat jelas dari atas dan sayapun langsung memutar arah kendaraan. Sesampainya di sana saya tidak langsung masuk, karena masih banyak yang ingin saya tanyakan pada petugas yang ada di sana. Setelah tanya panjang lebar dan di beri sebuah buku petunjuk tentang candi umbul yang di himpun oleh balai arkeologi saya langsung masuk untuk menikmati dan mempelajari segala hal yang ada di kompleks situs candi umbul ini.

Apa yang saya dapat di CandiUmbul dan berbagai gambaran serta penjelasan tentang candi umbul Silahkan baca tulisan lainya tentang Asal Usul Candi Umbul, DefinisiCandi Umbul, Lokasi Dan Gambaran Tentang CandiUmbul.

Asal-Usul Candi Umbul,Lokasi Candi Umbul Dan Gambaran Candi Umbul

Asal-Usul Candi Umbul,Lokasi Candi Umbul Dan Gambaran Candi Umbul
Candi umbul yang sudah ada sejak zaman wangsa syailendra ini merupakan bukti sejarah yang masih terjaga kelestarianya hingga saat ini, bahkan sebagai tempat wisata tempat ini masih ramai di kunjungi wisatawan lokal maupun manca Negara.


Asal-usul candi Umbul berasal dari kata ‘Umbul’ (bahasa jawa), ini di sebabkan karena sumber air yang keluar dari dasar kolam berbentuk gelembung-gembung udara selalu menyembul atau dalam bahasa jawa di sebut mumbul, di ambil dari kata dasar ‘Umbul’ atau ‘Mumbul’ yang berarti naik, sehingga nama Candi ini di sebut Candi Umbul.

Candi Umbul terletak di desa Kartoharjo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang.
Candi Umbul merupakan sebuah pemandian air hangat dan situspeninggalan sejarah. Kolam di situs candiumbul terbagi menjadi dua bagian, kolam pertama airnya cukup hangat dan mengandung belerang, sementara kolam yang kedua airnya sedikit dingin dan lebih rendah.

Dinding kolam berasal dari batuan andesit, di dalam kolam terdapat sejumplah umpak yang di perkirakan pada zaman dulu digunakan sebagai tiang penyangga, ini menandakan bahwa pada zaman dahulu tempat ini memiliki atap. Gelembung-gelembung yang terus keluar dari berbagai tempat di dasar kolam ini menunjukan sebagai sumber mata air hangat.
Sejumplah batuan situs berjejer di tepian kolam menggambarkan berbagai relief tumbuhan, binatang, dan stupa bagian puncak candi. Dan secara keseluruhan candi ini masih menampakan nuansa sejarahnya.

Yang menarik dari sumber airpanas ini yaitu tidak adanya bau belerang yang biasanya selalu di jumpai pada sumber air panas lain yang rata-rata memancarkan bau belerang cukup pekat (atau mungkin karena hidung saya lagi flu sehingga tak bisa mencium aroma belerang di kolam pemandian itu, saya juga kurang mengerti). Sementara untuk airnya pun sangat jernih.

Situs Candi Umbul di gunakan masyarakat sebagai pemandian air hangat umum, biasanya ramai di kunjungi pada sore hari dan pada hari-hari tertentu digunakan untuk ritual (tradisi mensucikan diri) seperti padusan menjelang bulan puasa, upacara melasti menjelang hari raya nyepi dan ritual-ritual lain yang di lakukan sekelompok orang dengan tujuan tertentu.

Senin, 16 April 2012

Situs Candi Umbul

Situs Candi Umbul
Kolam pemandian Candi Umbul merupakan sebuah situs candi hindu peninggalan Wangsa syailendra di masa kerajaan mataram kuno yang di bangun pada abad 9 Masehi. Menurut informasi pada zaman dahulu pemandian ini di gunakan sebagai pemandian putri raja setelah melakukan ritual di candi Borobudur. Sumber air panas (hangat) ini di temukan sekitar abad 8-9. Konon di sekeliling candi umbul ini di kelilingi beberapa bangunan candi penjaga, terbukti dengan ditemukanya beberapa potongan batu yang bergambar relief.



Konon situs ini pernah terimbun ketika agama islam masuk ke nusantara, dan di gali kembali pada zaman penjajahan belanda. Sekitar tahun 1870-an kolam candi umbul ditemukan dan di ekskavasi oleh pemerintah belanda. Pada awalnya, lokasi kolam pemandian itu berada di bagian belakang kompleks percandian yang terletak di tepian kali elo. Karena letusan gunung merapi tahun 1906 telah mengakibatkan candi umbul mengalami kerusakan dan terpendam oleh material vulkanik yang mengalir melalui kali itu. Proses rekontruksi ulang candi umbul dengan memindah lokasi kolam sedikit menjauh daru kali Elo. Sedangkan pondasi asli candi berada tak jauh dari kolam itu hingga kini masih terpendam di dalam tanah.

Jumat, 13 April 2012

[Bahasa Asli] Teks Kakawin Sutasoma-Empu Tantular

Seperti apa bahasa asli dalam Teks Kakawin Sutasoma?
Kekawin Sutasoma-Kakawin Sutasoma karya Empu Tantular ini berbahasa asli!
Mendengar nama Empu Tantular tentunya sudah tak asing lagi bagi kita, karena sosok sastrawan ini sudah sangat terkenal dan sering di sebut-sebut dalam tiap pelajaran sejarah,karena beliau sangat terkenal dengan karya-karyanya. Sehingga sampai saat ini semua karya empu Tantular masih di jadikan media acuan sebagai sumber penelitian dalam menelusuri jejak sejarah kerajaan-kerajaan di negeri ini dan Negara-negara lain di sekitarnya.
Sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran, marilah kita lihat sedikit seperti apa teks kakawin Sutasoma karya Empu Tantular yang sebenarnya. Dan untuk lebih lengkapnya silahkan baca teks dengan huruf yang telah di rubah menjadi hijaiyah berbahasa asli seperti di bawah ini :



Karya Empu Tantular Ah naranya: vijil nin bdyu sanke sarlra, ah sabdanya, muksa rik sarlra, candrarüpa ikan sarlra ri muksa nin bdyu rin sarlra, saumyalilan ahënin ikan sarlra vëkasan, sdnta-candra naran ikd, sdnta-smrti naran vaneh.

Ri hana nin smrti-sürya sdnta-candra dadi tak advaya-jndna. Patëmu nin advaya mvan advaya-jndna, ya tandadyakën Divarüpa, (b 42) avd sadd-kdla, ahënin nir-dvarana kadi te ja nin manik, apadan rahina sadd, sugandha tan gavai-gavai, surüpa tan gavai-gavai; surasa tan gavai-gavai sira katon denta.
Ikan am ah yatikd sinangah sak hyan advaya naran ira, bapa sira de bhatdra hyan Buddha. Ikan jndna vruh tan vikalpa humidëk nir-dkdra, yatika sinangah san hyan advaya-jndna naran ira. San hyan advayajndna sira ta devï bhardlï Prajndpdramitd naran ira, sira ta ibu de bhatdra hyan Buddha.

San hyan Divarüpa sira ta bhatdra hyan Buddha naran ira. Metre sragdhara Srï Bajrajndna sünyatmaka parama sirdnindya rin rat visesa, lila suddhdpratisthên hrdaya jayajayankën mahd-svarga-loka, eka-cchattrên sarïranhuripi sahana nin bhür bhuvah svah prakïrna, sdksat candrarka pürnadbhuta ri vijil iran sanka rin boddhi-citta.
Singih yan siddha-yogïsvara vekas ira san sdtmya Idvan Bhatdra, sarva-jnamürti sünyaganal alit inucap musti nin dharma-tattva. Tantular, Sutasoma Kakavin 38.1—42.4.

38. Metre praharsinï
1. Satvendröraga tika mukya Hastivaktra, bhakty arianjali ri sira n narêndra-putra, kapvaminta vinarah in mahopadesa, dvaranun tuten in a-cintya-sünya-dharma.
2. Apan kveh i manah i san mahati-yogi, wanten nirmala-bhava moksakan ginön tvas, len tan tyaga pëjah anun yathêsta-dharma, panlingan nrpa-suta nasta mankya mülya.
3. Sansiptan lëvih ikanan paratra-marga, sankên moksaka ri hidëp patik nararya, dü bhagyadhika panucapta sadhu rin rat, adya nvaii majara masaksya san rësindra.
4. Sirigih linta parama-moksa-marga dibya, de nih rat kunan ika san mahati-vidvan, tan moksahga juga visesa-dharma-marga, matyasin saparaga nin kabodhisattvan.
5. Pöh nin sastra tëkap i san visesa-sadhu, yadyan panlëha suka yan parartha donya, durrlaksmyathava sugihêki tan vikalpa, mon matyahuripa lamun jagad-dhitartha.
6. Nhih têkan parama-nirasrayêki gönën, rin jfianadhika vëkas in maha-visesa, tan svargabhyudaya kitan panekacitta, yêkande sasar ikanan paratra-marga.
7. Toh ndyanun vivitan ike linanta manko, vidyadi-krama ginëlar tëkap Bhatara, dharmadharma tuvuh ikan samasta-bhümi, mati mvan mahurip aneka srsti nin wan.
8. Püja yoga japa samadhi dana punya, len têkah brata suci paksa Bhairavatva, salvirnyêii asubha-subha pravrtti rin rat, jnanavesa milu tumut punarbhavêka.

39. Metre sikharini
1. Kunan san wan nissreyasa sira tatan siddhi rin ulah, ndatan püja tan yoga rinëgëp iran nisbhava sada, luput sankên bhava-krama pati hurip tan panavara, apan saksat sankan paran ika sira-cintya-bhavana.
2. Sirêkadrëvya jnana tiga hurip in bhümi sahana, banun bhayên way tan milu banu sirên duhka suka len, gunanekalit tan lëga masëk in alvadbhuta tëmën, göh tan mopëk yan mafijih in ahët ikasüksma sumilib.
3. Kalïnanyêvëh san vinuvus i vuvus nin wan amuvus, apan rakvêki tan vënaii inubhayan pan sira mucap, siranon tan katon sira juga manon pan sira manon, adoh tan düra nke sira ta maparëk tan kaparëkan.
4. Yateka pinrih nin viku ri tëka nin dharma kapatin, savan kris sah sankên sarunan inunus tan kahavaran, tëkap nin trinyarok rva pinasah irên jnana vimala, vidagdhaninkab roma salaya tinut nin nirupama.
5. A-cintyanumpak rin taya matapakan bhaskara vulan, ika lvir san llnadhika sama lavan moksa-karana, nda sansiptan sin solaha juga lamun nirmala sada, prasiddhamor in tan hana kaluput in vahya-vibhava.

40. Metre
1. Nahan lin Jina-mürti majar i kadibyan in patipati, mvan tan moksaka-marga kempen i vuvus niran pavacana, ndan san Samajavaktra naga-pati satva-natha karuna, bhakty ananjali jöh niramalaku sih nirêki tulusa.
2. De nin yoga samadhi tan hana ri san nir-asraya-yati, nis tan marga visesa rakva ri hidëp patik nrpa-suta, siddhan yoga yan arddha liii nira nir-asrayêki kahidëp, nëm kvehnyadhika rin sivatva ya rënön mahottama tëmën,
3. Pratyahara naranya kalapan in indriyêka vinalat, sankên artha jugêka rakva makamarga buddhi vimala, nyan dhyanadhika dhïra yoga humidëp sva-sadhya mapagëh, nir-byamoha taman kasambi rin ulah prapanca satata.
4. Pranayama naranya bayu vinatëk marêii hulu tënah, sarva-dvara minëb tëkapnya tinut in visesa katëmu, omkara pranavêki murigu ri dalëm tvas arddha ya kasök, vet nin tattva Sivatva dharana naranya yoga saphala.
5. Len tan tarka naranya yoga gaganöpama n manah ava, hhih tan vak-dhara rakva len ika sakêrikan avanavan, mvan tan jnana vikalpa tarja malilan vi-sadhya pinëlën, nis-sandeha samadhi yoga panaranya moksa-karana.
6. Tandvan asta-gunan kapangiha tëkapnya rakva rumuhun, drsyadrsya vasitva rih bhuvana Rudra-mürti sa-kala, yekan bvat i manah nira n parama-santikarya nipuna, kempër yan rusit in jitêndriya juran niii ambëk ahajön.
7. Yapvan dhïra manah katungën ikanan sva-citta mabënër, tan kevö tëkap in trikaya vala siddhi sarva-karana, kevëh nin tri-gunatmakarddha ya huvus kasimpën amatëh, nka rakvan sira sünya-rüpa paramartha-tattva kahidëp.

41. Metre sardülavikrïdita
1. Nahan tinkah ikah Sivatva ri sira n Saiva-sva-paksadhika, bheda mvan Jina-tattva têki ri sira n Bauddhaprameyêh jagat, san hyan Hadvaya-yoga-sandhi pinakesti dvara san bhiksuka, arn ah sabda nikan sva-bayu ri dalëm kantha prasiddhafihayu.
2. Rep prapta n ravi soma denya sumaput rin deha suddhakrti, mvan tan Hadvaya-citta divya mapageh ftkanê manah nirnaya, pöh nin rvanupamati-sïghra ri vijil hyah Buddha tan kavaran, sünyakara divanga nir-mala siran nirbana nir-laksana.
3. Apan tan siva tan Mahesvara sira n tan Brahma tan Kesava, tan san hyah paramesthi Rudra tuduhën düran kavastvêrika, singih yan Paramartha-Buddha tëmahan san siddha-yogisvara, iccha nora kasansayaganal alit tan matra matrên jagat.
4. Nahan hetu bhatara Buddha kahidëp putraprameyên jagat, san hyah Hadvaya rama tattva nira de san panditanhayvani, Prajnaparimitêbu tan sah i sëdën nin yoga sanusmrti, tan ragodaya bhinna rakva kalavan hyah Durmukhên atmaja.
5. Mahka sïla nirêh mahayana vëkas nih Bodhisattvan laku, vet nih tattva visesa tan huniha rih Hastesvaranindita, yavat preksaka rakva tavat ikanah nissreyasêvëh pinet, nahan hetu ni sah Sivatva makadat muhsy amrihên sünyata.

42. Metre vasantatilaka
1. Sahsipta têki bapa sah Gajavaktrarüpa, mvah naga-raja karuhun vara-sattva-natha, prih hayva tan dugadugê vuvus in kadi hvah, Buddhopadesa tëka rih Siva-tattva-yoga.
2. Apan tivas juga sira h muni Bauddha-paksa, yan tan vruh ih parama-tattva-Sivatva-marga, mahka h munindra sah apaksa sivatva-yoga, yan tan vruh ih parama-tattva Jinatva-manda.
3. Na de nirahucapakën vacanöpadesa, tan lambalamba tuhu yan Jina-mürti saksat, Durvaktra naga-pati satva-pati pranamya, bhakty ati-bhakti manadah vacanati-guhya.
4. Sampun matêki ya kinon ira bhiksva vikva, yan ksetra sindhu giri sohgvanan ih mayoga, hhih tan pakarvana tapo-vana hayva mahka, yan mahkanêki gati sah viku Bauddha-paksa.
Demikianlah isi dari teks Kakawin Sutasoma Karya Empu Tantular. Semoga bermanfaat.

Babad Caringan-Babad Caringin

Babad Caringan-Babad Caringin

Sebelas Sarasilah dan Babad Caringin
Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya

Sarasilah Caringin

Ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini.

Dari trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana yang menikah dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih yaitu putri yang di petilasan Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih dan pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang Kuning maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur.

Kemudian daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak yang tertua adalah Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati maka ketiga anak yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin serta meninggalkan kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan.

Anak tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman yang makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur Anak yang kedua dinamakan Umaenah, yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung maka suaminya itulah yang menjadi leluhur di Cimande-Tarik Kolot Anak yang ketiga dinamakan Romiah yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang, yaitu sebagaimana ia disebut di Caringin, karena di Cinagara ia disebut Aki Degle adapun Eyang Buyut Umang itu adalah putra Ki Kastiwa, cucu Ki Kaswita, cicit Suwita, dan turunan pahlawan Jaka Sembung, yaitu suami Roijah gelar Bajing Ireng sedangkan Eyang Buyut Umang sendiri juga telah menurunkan dua orang anak, yaitu Aki Eming yang dipusarakan di makam Gede di Tonggoh dan Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir, Pasir Muncang Selanjutnya, anak keempat Badigul Jaya adalah Samsiah, yang menikah dengan Aki Kartijan dan anak kelima adalah Amsiah yang menikah dengan Bayureksa yang disebut juga Reksabuwana, yaitu putra Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Mataram ialah pahlawan perkasa yang petilasannya terdapat di Tanjakan Ciherang maka Bayureksa dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading dan Ki Kumpi yang kedua-duanya dimakamkan di kawasan Cigintung-Caringin Akhirnya, anak kelima Aki Badigul Jaya adalah ibu Esah, yang menikah dengan Aki Bangala yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran, dan cucu Aki Kahir, tokoh dunia persilatan.

Selanjutnya, dari trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta diturunkanlah Ki Karmagada yang menurunkan Ki Karmajaya, yaitu ayahanda Ki Kartawirya yang berasal dari Jampang-Surade dan telah datang ke Lemah Duhur, untuk menetap di Legok Antrem adapun Ki Kartawirya itu disebut pula Haji Akbar ia menurunkan Marunda dan Marunda menurunkan Murtani dan seterusnya Murtani menurunkan Pitung, jago silat dari Rawa Belong.

Diriwayatkan pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem yang namanya telah diabadikan dalam nama Legok Antrem sasaka kami Maka Nyi Antrem itu pun berasal dari satu keturunan dengan suaminya sebab leluhurnya, yaitu Sekh Japarudin, juga berasal dari trah Ngampel Denta Sekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji dan Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng selanjutnya Aji Tapak Ireng menurunkan lima orang anak Pertama adalah Aji Wisa Ireng yang juga disebut Haji Aleman Kedua Aji Wisa Kuning, ketiga mbah Ambani, keempat Ki Anom dan kelima ibu Ucu yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad, leluhur di Cimande-Tarik Kolot Keluarga dan turunan inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curuk Dengdeng maka dari Aji Wisa Irenglah ibu Antrem diturunkan ke dunia yaitu ibu Antrem yang telah dipusarakan di kawasan Legok Antrem.

Adapun Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki adik Ki Karmajaya yang kemudian menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun, yang terletak di atas Legok Antrem Seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki Jaka Bledek, leluhur kampung Bendungan di Kampung Tajur Demikianlah itu tentang para leluhur dan pendahulu yaitu mereka semua yang berasal dari trah Ngampel Denta.

Seterusnya sebagaimana diriwayatkan oleh mereka yang mengerti sejarah mengalir pula darah leluhur Siliwangi pada diri para leluhur di Caringin mewarnai jalan kehidupan masyarakat dan memancarkan kesejatian rasa membangkitkan kesucian sikap dan menaikkan kebajikan laku Maka inilah keluarga para jawara yang menghubungkan Siliwangi dan Caringin menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mengarahkan masa depan.

Sang Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang dan menurunkan tiga orang anak, yaitu dua orang lelaki dan seorang wanita anak yang tertua adalah Pangeran Arya Santang, Panembahan Cakrabuwana anak yang kedua adalah Nyi Rara Santang ibunda Syarif Hidayatulah dan anak yang ketiga adalah Kian Santang atau Prabu Sagara atau Sunan Rakhmat Suci di gunung Godog yang disebut Sekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan maka ia itulah leluhur seorang tokoh bernama Elang Sutawinata.

Adapun Elang Sutawinata yang disebut di atas menurunkan tujuh orang anak pertama adalah Jaka Sembung yang menikah dengan Roijah gelar Bajing Ireng kedua adalah Jaya Perkosa yang menjadi patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang seorang istrinya bernama Mulantri dan salah seorang anaknya pernah hadir di Caringin yaitu yang disebut Aki Palasara, disebut Aki Kabayan, disebut Ki Jambrong yang memiliki petilasan di Kebon Tajur, di atas Legok Antrem, lalu di Legok Jambrong dan juga memiliki petilasan di Legok Batang, di kawasan Citaman, di desa Tangkil Selanjutnya anak ketiga Elang Sutawinata adalah Aki Kahir yang nama-nama dan petilasan-petilasannya akan diuraikan di bawah anak keempat adalah Eyang Ranggawulung leluhur di Tarik Kolot anak kelima Aki Dato di Bantar Jati dan Pondok Pinang anak keenam Sekh Sake di petilasan di Citeureup dan anak ketujuh Pangeran Papag yang menikah dengan Sari(w)uni, putri Ki Hambali.

Sembilan nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata Aki Kahir di Bogor-Tanah Sareal, Sekh Majagung di Cirebon Pangeran Jayasakti di Batu Tulis, Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang, Cipetir dan Eyang Kartasinga-Wirasinga di Tarik Kolot Aki Dalem Macan di Citeureup, Eyang Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea dan yang kesembilan dan terakhir adalah Ki Jambrong di Cirebon.

Maka Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran yang berganti sebutan menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran di Tegal Jepara ia dipusarakan pada dua petilasan di dua tempat sebuah di Kebun Raya Bogor dan sebuah lagi berupa makam putih di Cimande Hilir Ia menurunkan empat orang anak, seorang lelaki dan tiga orang wanita yang tertua adalah Aki Bangala yang menikah dengan uwak Esah yang kedua dalah Nini Sarinem di Ciherang-Limus Nunggal disebut Sri Asih di Cirebon dan Nini Sarem di Cileungsi suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari Plered-Purwakarta yang ketiga adalah Nini Sayem di Ciherang-Limus Nunggal yang menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon yaitu tokoh yang dihubungkan dengan Kuda Puspagati dari petilasan Pasir Kuda di Lemah Duhur dan yang keempat adalah Nini Sarimpen di Garut yaitu istri Banaspati, seorang panglima Panembahan Sabakingkin dari Banten.

Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung, anak keempat Elang Sutawinata menurunkan lima orang anak yang masing-masing disebut sebagai berikut:

Aki Ondang, Aki Buyut, Aki Anom, Aki Suma dan Aki Ace dan diriwayatkan pula bahwa ketika Eyang Rangga Wulung memasuki Caringin ia diiringi oleh Ajengan Kuningan dan Ki Age yang keduanya dimakamkan di Kebun Tajur, di sebelah atas Legok Antrem Kemudian daripada itu berniatlah kami kini untuk mengurutkan garis keturunan Arifin yaitu seorang rekan pengawas di Bina Kertajaga Siliwangi Anom baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibundanya.

Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut:

Elang Sutawinata menurunkan Ranggawulung, yang menurunkan Ki Ace, yang kemudian menurunkan Ayah Haji Abdul Somad, yang kemudian menurunkan Haji Ajid, yang menurunkan Hajjah Kuraisin, istri Ki Lurah Uji, yang menurunkan ibu Enen, anak angkat Haji Atap, istri bapak Ubeh Subandi.

Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut:

Elang Sutawinata menurunkan Aki Kahir, yang menurunkan Ki Jepra, yang kemudian menurunkan Nini Sayem di Limus Nunggal Selanjutnya Nini Sayem menurunkan Ki Rasiun, yang menurunkan Ki Sarian, yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin Seterusnya Ki Jaiin menurunkan Ki Haji Muat yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali, yang dahulu memiliki Legok Antrem dan juga mendirikan persatuan pencak silat Hibar Karuhun Maka Haji Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik Kolot ke sekitar desa Cikalang dan dia adalah ayah Ki Haji Barnas, bapak Ubeh Subandi dan adik-adiknya Selanjutnya, dari Cikalang di desa Caringin kami mengalihkan uraian ke pemakaman tua di desa Cinagara, yang terletak dibawah pohon rindang di situ disemayamkan Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan, istrinya Seseorang meriwayatkan kepada kami tentang Mbah Dalem yang dikatakan berasal dari Jawa Timur dan disebut dengan nama Eyang Adeg Daha tetapi seseorang lainnya mengisahkan silsilah Mbah Dalem sebagai berikut:

Dari trah Brawijaya, melalui trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna yang disebut juga Pandewulung dari Kudus Ia menurunkan Sekh Japarudin dari Mataram yang menurunkan Sekh Sekh Abdul Muhi dari Pamijahan yang selanjutnya menurunkan Sekh Mohammad Abdul Sobirin, yaitu Mbah Dalem Cinagara pepunden masyarakat di Dukuh Kawung.

Demikianlah itu Sarasilah Caringin sebagaimana telah diuraikan oleh Ki Jumanta dari Cikodok, yang sangat tekun mendalami sejarah sekarang diurutkan pula nama-nama tempat dan desa tempat para Karuhun di pusarakan dalam damai.

Di Lemah Duhur dan Pancawati:
Eyang Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot.
Eyang Ranggawulung dan putra-putranya, beserta ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot.
Eyang Badigul Jaya, ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.
Eyang Rasiyem di Legok Mahmud.
Aki Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.
Pangeran Jayakarta, putra Wijayakrama, yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra Eyang.
Sagiri, yang petilasannya terdapat di Bojong Katon.
Eyang Bangalan di Cikodok, Kampung Legok.
Ki Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.
Nyi Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.
Ajengan Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya, Aki Age, Setyawati Kusumah dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya Perkosa, semuanya di Kebun Tanjur.

Di Cimahi Jaya:
Tidak ada yang tercatat telah dipusarakan di tempat ini.

Di Pancawati:
Aki Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.
Di Ciherang Pondok:
Nini Amsiah di tengah kawasan desa.
Haji Abdul Kohar atau Mbah Ageng di perbatasan Ciawi.
Nini Sarinem di Blitung-Cikeretek.
Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong di Cibolang.

Di Muara Jaya:
Batara Kresna, Aki Arya Kusuma di Rawayan.
Adipati Wirasembada di Kampung Nyenang, dan mbah Muhi.

Di Pasir Muncang:
Aki Wirakerta dari Kuningan, Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Sekh Asnawi di Cipopokol Girang.
Aki Aliyun di Cipopokol Hilir.
Suryadiningrat, cucu Sekh Malik Ibrahim di Ciburial.

Di Cinagara:
Raden Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.
Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.
Di Tangkil:
Aki Degel, Haji Muid, dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.
Nini Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong, yang juga disebut Aki Palasara.

Di Pasir Buncir:
Batara Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponorogo.
Di Ciderum:
Bango Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono, dan Ki Kastiwa.

Di Caringin:
Galuh Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana; Ki Kartaji; Aji Tapak Ireng; Aji Wisa Ireng, dan Aji
Wisa Kuning di Kampung Curuk Dendeng.
Ki Umang, Aki Ranggading, dan Ki Kumpi di Cigintung.
Di Cimande Hilir:
Reksabuwana atau Bayureksa di tanjakan Ciberang, dan Eyang Bangala.

Demikianlah selesai kami urutkan
sarasilah, nama tokoh dan petilasan di Caringin
Babad Caringin

Ucapkanlah Asma Yang Maha Agung di Pasir Karamat kagumilah alam pada batu besar di Pancawati hormatilah peninggalan yang sangat tua di Pasir Kuda bersemadilah pada goa dengan air terjun di jurang Citaman pergilah menapak tilas kelima tempat Siliwangi di sepanjang Cisalada hingga ke Curuk Merot pelajarilah warisan Cimande pada guru yang rendah hati Kunjungilah Bumi Kawastu untuk merundingkan perjuangan datanglah ke Legok Antrem untuk mempererat persaudaraan dan dengarkanlah dengan teliti isi kisah babad Caringin yaitu Caringin Kurung dari masa lalu dan Caringin Kurung dari masa yang akan datang Kemudian dengan tekad membaja dan semangat membantu negara bersama-sama mengucapkan manggala, sebagaimana telah disusun di Sasaka Antrem:

“Kertajaga Bumi Kawastu, Mugi rahayu di Legok Antrem, Mugi jaya di Tegal Laga, Mejangkeun teras hibar Karuhun”

Semoga semua rela menata dengan jujur, Semoga memperoleh harta rohani dalam bejana budi pekerti yang mendatangkan ketentraman, yang mendatangkan kesejahteraan.

Inilah riwayat babad Caringin, babad yang telah disampaikan dari yang tua kepada yang muda:
Dari ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke bumi Pakuan memohon dan memperoleh terang batin: “Surya Padang Caang Narawangan” menghargai dengan hormat Bukit Baduga di Rancamaya menyaksikan dengan kagum Mandala Keratuan di Batu Tulis melayangkan pikiran ke Watu Gigilang, yang kini terletak di negeri Banten meneliti perjalanan sejarah di dataran yang berada di antara kedua gunung.

Di sini pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan ketika terdengar kabar berlangsungnya perang antara Pajajaran dan Banten juga ketika kemudian tentara Banten meliwati daerah menuju Cikundul untuk menyerbu Begitu pula para prajurit, perwira dan tokoh-tokoh persilatan yang turut mengalami api perubahan jaman dan bergantinya masa; seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan ketika bermukim di Caringin membanggakan keberanian dan kejantanan di samping ketakwaan dan kesalehan yaitu semangat keprajuritan sebagaimana terkandung dalam sasmita-kata:

“Bojong Katon Pasir Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati Denda”

Ratusan tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi tentara Mataram yaitu di tempat yang sekarang disebut Pasar Caringin yaitu pada jalan yang menuju ke Maseng, Pasir Bogor, lalu Cihideung dan Kota Bogor Jauh sebelum jalan mulai menanjak dan berbelok-belok di situlah bersemayam Tumenggung Wiranegara pemimpin pasukan dari wetan yang gagah perkasa yang sedang berusaha keras menahan pengaruh dari kota di utara sebagai perwira Mataram dan sebagai kusuma bangsa sebagai tokoh perjuangan yang tak lelah berkarya.

Kapan dan bagaimana para perwira Mataram tiba tentunya ditanyakan peristiwanya oleh banyak orang walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan tetapi beberapa bukti menunjukkannya sebagai kemungkinan.

Pada tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda datang menyerbu kedudukan Belanda di Negeri Betawi pada kedua peristiwa itu mereka akhirnya dipukul mundur Karena kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan ingin kembali ke timur jalan laut terhalang armada kompeni maka terpaksa mengambil jalan darat di sepanjang pegunungan tengah pada peristiwa itulah mereka meninggalkan nama dan bekas.

Rawa Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan Matraman tempat mereka bermukim beberapa lama Ragunan yang bukan tidak mungkin berasal dari nama Wiragunan lalu adanya beberapa makam dan petilasan Kuno di Caringin seperti Bayurekso-Reksobuwono di tanjakan Ciherang ia di pusarakan dan ia disebut sebagai anak Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Kartasura.

Kembali kepada periwayatan babad Caringin Kurung katanya tangsi tentara Mataram itu dikurung tembok dan di dalamnya ditanam pohon Caringin atau Beringin yang dengan demikian melahirkan nama Caringin Kurung Menurut kisahnya tempat itu pernah digadaikan kepada Belanda yang menolak untuk menyerahkan kembali ketika hendak ditebus karena itu muncul sengketa yang berkepanjangan yang akhirnya pecah menjadi suatu pertempuran panjang.

Semua kekuatan pribumi baik yang gaib maupun nyata dikerahkan untuk merebut Caringin Kurung dan mengembalikan hak Wiranegara dari kampung Gembrong di belakang Maseng Arya Wiryakusuma membantu juga Suryakancana yang di luhurkan di kabupatian Bogor di Pasir Muncang-Muara Jaya tegak berdiri Batara Kresna Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji Wisa Ireng di Curuk Dengdeng tidak ketinggalan pula Galuh Pakuan yang dihadirkan untuk memperkuat seluruh pasukan-pasukan pribumi Jaka Kadir dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem Eyang Bangala di Cimande Hilir, Ranggawulung di Pancawati serta Aki Ranggagading dan Ki Kumpi di Cigintung-Caringin hanya satu tokoh pribumi memilih untuk memihak Belanda yaitu Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong, di Cikeretek-Cibolang Dalam adu senjata di hibar Caringin pada medan laga di bumi Pakuan itu karena kehendak Yang Maha Kuasa pasukan pribumi tak berhasil mencapai maksudnya Bersama dengan perjalanan waktu yang mengikis dunia kebendaan lenyap pula tempat dilingkup tembok dimana terdapat pohon beringin itu tetapi rupanya tetap dikenang lalu dilontarkan ke masa depan dijadikan ramalan melalui kata-kata orang tua :

“Lamun geus ngadeg Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu bakal makmur”

Demikianlah babad Caringin Kurung menurut penuturan Ki Jumanta benar tidaknya kiranya hanyalah Tuhan yang mengetahui tetapi satu hal saja hendaknya jangan dilupakan oleh para pewaris ini adalah tanah perjuangan, tanah keperwiraan dan tanah keperkasaan Ini adalah tanah orang yang beribadah, bekerja keras dan membangun kemuliaan Karena itu bangkitlah untuk Caringin, untuk tanah air dan untuk masa depan.

SEDEKAH DUSUN LENDOH 2012

Sedekah Dusun Lendoh 2012-Karnaval Budaya Dusun Lendoh,Bedono,Jambu

Sedekah Bumi atau Sedekah Dusun merupakan sebuah wujud syukur masyarakat setempat pada apa yang telah di peroleh, sebagai perwujudan bentuk doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atau pada pangreksa bumi untuk kelestarian dan kesejahteraan semua yang ada di dalamnya. Bentuk ritual adat yang dilakukan oleh masrakat dusun Lendoh ini meliputi berbagai hal, dan di selenggarakan setiap tahun, namun ritual adat sedekah dusun lendoh dirayakan secara besar-besaran setiap dua tahun sekali.


Seperti halnya tradisi sedekah dusun yang di lakukan oleh masyarakat dusun lendoh kelurahan Bedono pada hari Rabo Wage bulan Jumadil awal, rupanya menarik perhatian banyak orang, karena semua anggota masyarakat turut terlibat di dalamnya tanpa terkecuali para pengendara yang melintas di jalan raya Semarang-Jogja. Perayaan sedekah dusun lendoh di rayakan dengan berbagai pertunjukan yang tersebar di seluruh RT di Dusun Lendoh, dan kebetulan perayaan kali ini RT 03 sebagai tuan rumah/penyelenggara, sehingga semua bentuk kegiatan berpusat di RT 03. Pada awal acara, pagi hari mulai diadakan sebuah ritual denga bentuk selamatan yang di lakukan oleh seloruh warga, dan pada siang harinya di lanjutkan dengan pertunjukan atau pagelaran Wayang Kulit. Di sela pertunjukan Wayang Kulit di gelar, masyarakat lendoh mempersiapkan diri untuk melakukan pawai arak-arakan atau karnaval. Karnaval perayaan kali ini mulai dari Dusun Lendoh melewati rute jalan raya Semarang-Jogja, pasar bedono, Dusun Candi, dan kembali lagi ke Dusun Lendoh sebagai star sekaligus menjadi finish/akhir dari arakan-arakan.

Sementara, urutan dari pawai karnaval kali ini yaitu :
1. Sepanduk Dusun.
2. Bendera Merah-Putih Dan Garuda Pancasila.
3. Pejabat Dan Perangkat Desa/Dusun.
4. Gunungan Tumpeng Agung.
5. Gunungan Tumpeng Palawija Dan Pengiring.
6. Gunungan Tumpeng Buah.
7. Icon Kerbau.
8. Barongsai.
9. Gagar Mayang.
10. Drum Band SMA-Sudirman.
11. Cerry Bell Anak-Anak.
12. Pertanian/Hasil Bumi/Replika Jagung.
13. Reog Dari Temanggung.
14. Pertanian/Hasil Bumi/Replika Lombok.
15. Elang Hitam dari Tegal Rejo.
16. Pertanian/Hasil Bumi/Replika Ketela.
17. REog Dari Kwayahan.
18. Peternakan/Hasil Peternakan/Replika Patung Sapi.
19. Menak Koncer dari Gemawang.
20. Peternakan Bulus.
21. Topeng Ireng dari Jenganti.
22. Gagar mayang.
23. Thek-thek Ibu-ibu/Kesenian tetek.
24. Reog Dari Wawar Kidul.
25. Berbagai Badut Dan lain-lain.
26. Drum Band MTS Grabag.
27. Keagamaan/Katolik.
28. Reog Bedono Krajan.
29. Keagamaan/Islam/Langgar/Masjid/Replika Ka’bah dan Al-Qur’an.
30. Reog Dari Tuk Bugel.
31. Aneka Kebudayaan Jawa.
32. Topeng Ireng dari Josari.
33. Konvoi Sepeda Hias.
34. Konvoi Sepeda Motor.
35. Mobil Hias/TK-ABA.
36. Mobil Hias/Umum.
37. Mobil PPPK.

Setelah Semua arakan-arakan ini selesai, semua aktivitas di hentikan karena telah menjelang magrib. Dan untuk selanjtnya, yang menjadi puncak acara dalam rangka Sedekah Dusun ini adalah Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk. Kemudian, pada hari minggu ada pertunjukan Tari Angguk di lanjutkan pertunjukan campur sari pada malam harinya, dan pada hari minggu selanjutnya masih ada pertunjukan reog.

Nah, begitulah rangkaian acara dan karnaval sedekah dusun lendoh 2012 yang sempat saya catat di sela perjalanan saya dari jogja menuju jepara pada saat mampir ke tempat teman yang kebetulan sedang ada ritual sedekah bumi ini, semoga bisa bermanfaat dan bisa menjadi motivasi bagi desa-desa di tanah air demi kelestarian bidaya dan tradisi di negeri ini.

Kamis, 12 April 2012

Serat Salokatama

Naskah Serat Salokatama dikarang oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangku Nagara IV pada 1799 Jawa atau 1870 M. Serat Salokatama dikarang dalam bentuk tembang mijil, seluruhnya ada 31 “pada” (bait), sudah pernah diterbitkan oleh Nurhipkolep Jakarta 1953 dengan huruf Jawa.
Saloka berarti perumpamaan atau ceritera sedang tama berarti utama atau baik. Salokatama berarti perumpamaan atau ceritera yang utama atau yang baik. Ini terungkap pada bait terakhir dari tembang tersebut yang berbunyi: Itij panawunging ruwiyadi yang artinya: telah selesai uraian ceritera yang baik.

Isi Serat Salokatama
Adapun intisari isi Serat Salokatama selengkapnya seperti pemaparan berikut ini:

Yang dilihat oleh pengarang adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya dan selalu mengganggu pikirannya. Umumnya orang yang punya kemauan sering tidak mawas diri, berbuat tak terkendali dan akhirnya mendapatkan “nistha”. Orang muda suka menonjolkan dirinya agar orang lain takut dan menghargai. Mereka tidak tahu bahwa perbuatannya itu banyak yang menertawakan, membuat orang lain tidak senang dan musuhnya menjadi bersyukur karenanya. Tampaknya seperti seorang pemberani, tingkah lakunya dibuat-buat, sehingga tampak seperti seorang jahil atau penjahat. Kelak ika mereka telah berhenti dari perbuatan itu, orang tetap tidak percaya bahwa mereka orang baik-baik.

Andai kata orang hidup itu dua kali, tidak ada orang takut mati serta tak ada orang yang kecewa. Tetapi karena hidup hanya satu kali, banyak yang kecewa hidupnya, sehingga kadang-kadang ingin bunuh diri. Tetapi bunuh diri sebenarnya lebih sengsar, makamnya tidak boleh dicampur dengan leluhur dan orang banyak. Orang yang membunuh orang dosanya amat besar, tetapi masih lebih besar dosa orang yang bunuh diri, sehingga “nistha” melebihi matinya lutung atau kera.

Membersihkan dosa tidak ada cara lain kecuali minta maaf kepada semua yang disakiti hatinya. Jika lebih tua dan lebih tinggi berbaktilah. Jika lebih muda tetapi lebih tinggi, dengan salam takzim dan bahasa yang halus. Semuanya adalah usaha untuk menghilangkan kemarahan. Jika malu dengan berkata langsung, tulislah surat yang manis. Kemudian minta maaf dan bertobat kepada Tuhan. Juga jangan lupa menghormati leluhur agar tidak mendapatkan dosa dari padanya.

Memang orang berbuat baik itu berat, berbeda dengan orang yang akan berbuat jelek selalu lebih mudah.

Umumnya orang di dunia ini, baik yang tinggi maupun yang rendah martabatnya tidak suka mengalah meskipun bukan berarti kalah yang sebenarnya. Dan lagi pada umumnya orang jika dipuji dan didukung pendapatnya akan suka hatinya serta jauh dari sakit hati.

Umumnya orang yang tidak tahu akan budi baik, jika ada sesuatu hal yang diceriterakan yang buruk dahulu, sebabnya memang tidak sampai pemikirannya.

Jika kita ingin mendapatkan kemuliaan agar terlaksana kita harus berani rendah hati, minta pertolongan dan doa restu.

Jika suatu ketika cita-cita kita gagal, jangan terkejut dan lalu menyalahkan dirinya sendiri sejadi-jadinya. Mohonlah petunjuk kepada Tuhan, rasakan apa kekurangan kita. Karena Manusia ini semuanya kekasih Tuhan, Jika mempunyai cita-cita, mohonlah kepada Tuhan, pasti akan dikabulkan. Jika belum berhasil, barangkali memang belum waktunya.

Ibaratnya buah durian muda jika dipanjat sukar memetiknya, dan jika sudah dipetik tidak dapat dimakan, padahal usahanya mati-matian. Lain halnya jika sedikit demi sedikit, sabar menunggu, jika sudah waktunya akan jatuh sendiri, mudah memetiknya dan enak dimakan.

Demikian juga orang mencari kemuliaan, Jika terlalu dipaksakan kadang-kadang sampai kehabisan akal, segala jalan ditempuh dan tidak segan-segan menggunakan cara yang tidak baik, misalnya dengan menggunakan magis. Jika berhasil, umumnya kurang baik, tidak tahan lama dan tidak lestari. Ini persamaannya seperti memetik durian muda tadi.

Lain halnya dengan orang yang berusaha dengan jalan yang baik. Pada malam hari selalu memohon kepada Tuhan. Sehari-harinya tingkah lakunya baik, rajin, jujur, rendah hati, bicara manis, patuh pada atasan, cinta kepada sesama. Umumnya yang melaksanakan seperti itu, sudah selayaknya jika yang dicita-citakan berhasil. Hal itu anugerah nyata dari Tuhan. Kehidupanya selamat tidak dirundung kesusahan dan kadang-kadang dapat menurun ke anak-cucu.

Ibarat ingin memetik buah durian yang masak di pohon, jika mempunyai cita-cita harus ada usahanya tidak cukup hanya dipikir saja. Tuhan tidak akan mengabulkan bagi yang tidak berusaha.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Depdikbud.

Rabu, 11 April 2012

Serat Darmo Wasito

Serat Darmo Wasito adalah sebuah ajaran yang sangat bermanfaat bagi siapapun yang membaca, karena di dalam Serat Darmo Wasito mengandung tiga pokok ajaran penting, dan tiga pokok ajaran dalam serat darmo wasito adalah :
1. Ajaran agar Hidup Sukses
2. Ajaran agar Menjadi Abdi (Negara) yang Baik
3. Ajaran agar Menjadi Isteri yang Baik
Dan untuk selebihnya, silahkan baca apa yang tertera di bawah ini :


Nenek moyang kita banyak memberikan ajaran-ajaran luhur yang tidak hanya diwariskan dalam tradisi lisan seperti ungkapan dan dongeng, tetapi ada pula yang dituangkan dalam karya tulis berbentuk “tembang macapat”. Ajaran-ajaran luhur tersebut pada zamannya banyak dikaji, dihayati dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Salah satu dari karya tulis yang dituangkan dalam bentuk tembang macapat adalah Serat Darmo Wasito yang dikarang pada tahun 1878 M oleh KGPAA Mangku Negara IV. Serat Darmo Wasito terdiri dari: 12 pada (bait) Dhandhanggula, 10 pada Kinanthi, dan 20 pada Mijil. Sebagai catatan, serat ini pernah diterbitkan dalam huruf Jawa oleh Nurhopkelop Jakarta pada tahun 1953.

Isi Serat Darmo Wasito
Secara ringkas isi serat Darmo Wasito dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ajaran agar Hidup Sukses
Dalam Serat Darmo Wasito, apabila orang ingin hidup sukses, maka ia harus: (a) menikah, sebagai sarana untuk melestarikan kehidupan; (b) melaksanakan asthagina, yaitu: nut ing jaman kelakone (harus pandai menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi), rigen (pandai bekerja dengan efektif dan efisien), gemi (hemat), weruh etung (selalu penuh perhitungan dalam memanfaatkan penghasilannya untuk waktu sekarang, maupun yang akan datang), taberi tatanya (rajin bertanya sehingga pengetahuannya selalu bertambah), nyengah kayun (dapat mengendalikan diri sehingga tidak banyak berbuat kesalahan), dan nemen ing sedya (bila mempunyai niat harus dilakukan secara sungguh-sungguh); (c) jangan suka utang, sebab akan turun wibawanya; (d) jangan menjadi orang miskin, sebab orang miskin akan banyak mengalami kesusahan dan kurang dihargai dalam pergaulan; (e) jangan malas bekerja agar dijauhkan dari kesusahan; (f) melaksanakan sikap-sikap utama, yaitu: luruh (pandangan mata tidak liar dan hanya melihat seperlunya), trapsila (selalu bersikap sopan), mardawa (selalu ramah terhadap orang lain dan berbicara dengan lemah lembut); manut mring caraning bangsa (tindakan seharusnya selalu berwawasan kebangsaan dan tidak berdasarkan atas suku bangsanya sendiri), andhap asor (selalu bersikap rendah hati), meneng (tidak banyak berbicara atau mengobral bualan), prasaja (penampilan harus wajar dan tidak berlebih-lebihan), tepa selira (memiliki tenggang rasa yang tinggi), eling (selalu ingat akan baik-buruk, ingat kepada kedudukan, ingat kepada dirinya sebagai makhluk Tuhan), dan ulat batin (melakukan kegiatan pembinaan rohani agar mendapatkan jalan keutamaan); dan (g) melaksanakan catur upaya, yaitu: anirua kang becik (meniru hal-hal yang baik dan jauhkan yang buruk); nuruta ngguua kang nyata (percaya kepada kenyataan), dan miliha kang pakoleh (memilih hal-hal yang tepat dan menguntungkan).

2. Ajaran agar Menjadi Abdi (Negara) yang Baik
Untuk menjadi abdi (negara) yang baik, maka seseorang harus memiliki sifat-sifat, seperti: sregep (rajin dan tidak membuat kecewa yang memberi tugas), pethel (suka bekerja), tegen (ulet bekerja dan telaten sehingga membuat puas orang yang menyuruh), wekel (bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab), dan ngati-ati (bekerja secara berhati-hati).

3. Ajaran agar Menjadi Isteri yang Baik
Ajaran-ajaran dalam Serat Darmo Wasito untuk seorang isteri adalah: (1) agar menjadi seorang isteri yang dihargai dan dicintai oleh suaminya, maka ia harus: nurut (apa yang dikehendaki oleh suami dilakukan dengan penuh kesabaran dan dapat menyelesaikannya dengan baik), condhong (kehendak suami harus didukung, merawat apa kesukaannya dan tidak membicarakan kejelekannya di muka umum), reksa (menjaga segala milik suami dan tahu jumlah serta rinciannya), nastiti (tahu asal muasal sebuah barang dan kegunaannya serta dapat menggunakan dengan baik nafkah yang diberikan oleh suami), nyimpen wadi (pandai menyimpan rahasia suami dan keluarga); (2) agar dapat berhasil dalam hidup berumah tangga, seorang isteri hendaknya bersikap: berhati-hati dalam segala hal, mengenal sifat-sifat keluarga dan famili sehingga dapat menyesuaikan diri, mengerti acara suami sehari-hari dan dapat membantu jika diperlukan, jika memberi saran atau mengemukakan pendapat harus mencari waktu yang tepat, paham akan tugasnya sebagai seorang isteri, jangan menggunakan atau memanfaatkan barang-barang milik suami tanpa seizinnya, pandai merawat barang-barang milik suami, dan meskipun suami memberi keleluasaan, tetapi tetap melakukan segala hal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Minggu, 08 April 2012

Babad Alas Nangka Dhoyong

Babad Alas Nangka Dhoyong, (Babad Crita Lesan)
Dumadine Kutha ‘Wonosari’

Wiwitaning carita ing wewengkon Sumingkar (saikine wilayah Sambi Pitu, Gunungkidul). Sumingkar iki miturut gotheking crita iki minangka Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku; rikala Sultan Hamengkubuwana I madeg ratu ing Kraton Ngayogyakarta. Sumingkar cedhak karo tembung ‘sumingkir’. Mirid saka kahanan lan sejarahe masyarakat sakiwatengen Sambi Pitu, wong-wong ing wewengkon iki minangka playon saka Majapahit, wong-wong kang ‘sumingkir’ ing alas Gunungkidul biyene. Crita lesane wong-wong kana nerangake manawa Brawijaya pungkasan keplayu tekan alas Gunungkidul, ngulandara ing sawetara papan lan mbukaki alas-alas dumadi desa-desa sarta ninggalake maneka kabudayan. Brawijaya pungkasan moksa ing Guwa Bribin, Semanu, jalaran rikala disuwun malik ngrasuk Islam dening Sunan Kalijaga ora kersa. Kaya dene masyarakat kang sumebar manggon luwih dhisik ing Rongkop, Semanu, Karangmojo, Ngawen, Nglipar, Sambi Pitu, saperangan Pathuk, uga Panggang, wong-wong iki wis dumunung ing sajembaring alas Gunungkidul sadurunge kedaden Palihan Nagari (Prajanjen Giyanti) ing Surakarta. Kabukti kanthi ananing maneka warna kabudayan kang gregete nuduhake semangat Jawa Asli-Hindhu-Buda-praIslam, kaya ta: tledhek, rasulan, cing nggoling, babad alas, reyog, petilasan Hindhu, petilasan Buda, lsp. kang tansah diuri-uri tekane saiki. Crita iki uga minangka bukti stereotip ‘babad’ kaya kang dumadi ing desantaraning pulo Jawa lumrahe; kepara ing nusa-antara.

Ing Sumingkar Adipati Wiranagara madeg dadi adipati. Piyambake kagungan garwa cacahe loro, sing siji wanita Sumingkar, sing siji garwa triman saka Sultan. Ateges, garwa sing siji saka kraton Ngayogyakarta. Wus dadi kalumrahan yen para adipati pikantuk bebungah awujud apa wae saka ratune, bisa kalungguhan, kalebu garwa triman. Angkahe warna-warna: kanggo lintu tandang gawe, kanggo nerusake trahing kusuma, minangka tandha panguwasaning raja utawa kosok balene; teluke panggedhe ing dhaerah-dhaerah marang Nagaragung. Duk semana, rikala Adipati Wiranagara sowan ing Kraton Ngayogyakarta, piyambake oleh prentah saka Kanjeng Sultan supaya mindhah Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul wektu iku kang dumunung ing Sumingkar (Sambi Pitu) menyang Alas Nangka Dhoyong, kang penere ing Kutha Praja Kabupaten Gunungkidul ing wektu iki. Kutha praja kabupaten Gunungkidul prelu dipindhah amarga miturut tata jagading keblat papat, kurang pener manengah. Dadi, rinasa dening Sultan kurang mangaribawani tumrap wewengkon kabupaten Gunungkidul liyane. Mangkono alesan ing crita rakyat dikandhakake. Sawuse kondur saka Kraton Ngayogyakarta, Adipati Wiranagara nimbali kabeh pangembating praja ing Sumingkar supaya sowan ing pendhapa kabupaten.

Demang Wanapawira, yaiku Demang Piyaman (wilayah Piyaman tekane Nglipar saiki), durung katon sowan ing pendhapa kabupaten. Para pangembating praja padha duwe beda penggalihan babagan durung sowane Demang Wanapawira. Wekasane, Demang Wanapawira tumeka sowan. Rangga Puspawilaga, sawijining rangga asal Siraman, matur marang Adipati Wiranagara supaya Demang Wanapawira diparingi ukuman marga telat anggone sowan. Rangga siji iki pancen wong kang gumunggung, seneng tumindak culika. Ananging usul mau ora ditanduki dening Sang Adipati. Adipati Wiranagara paring dhawuh marang Demang Wanapawira supaya ngayahi jejibahan mbabad Alas Nangka Dhoyong kanggo mangun kutha praja Kabupaten Gunungkidul, kaya dene kang tinitahake Sultan Hamengkubuwana. Demang Wanapawira siyaga mundhi dhawuh. Rangga Puspawilaga ora sarujuk yen Demang Wanapawira kang pinilih ngemban titahe Sultan iku. Angkahe, dheweke kang madeg duta. Rangga Puspawilaga ndhisiki metu saka pasewakan marga ora narima kahanan iku.

Ing kademangan Piyaman, cinarita ana sawijining perewangan kanthi nama Mbok Nitisari, kawentar jejuluk Nyi Niti. Nyi Niti dimangerteni dening wong-wong ing sakiwatengening Piyaman, kepara ing sawetara wewengkon Gunungkidul wektu iku, minangka perewangan; wong kang linuwih, mligine gayut karo roh alus lan lelembat. Nyi Niti duwe garwa inaran Ki Niti. Nyi Niti satemene mbakyune Demang Wanapawira. Nyi Niti lan Demang Wanapawira iki kalebu keturunane wong-wong playon saka Majapahit jaman semana. Tekane Piyaman, Demang Wanapawira marahake babagan apa kang tinitahake marang piyambake: mbukak Alas Nangka Dhoyong didadekake kutha praja. Demang Wanapawira nyuwun pretimbangan marang kangmboke. Satemene, sawuse ngrungu titah iku Mbok Niti rumangsa yen iku titah kang abot sanggane. Sakehing wong kang dumunung ing wewengkon Gunungkidul wektu iku wus priksa yen Alas Nangka Dhoyong iku alas kang gawat kaliwat, punjere jim lelembut, lan omahe dhanyang Nyi Gadhung Mlathi. Nanging, Mbok Niti saguh nyengkuyung lan ngrewangi Demang Wanapawira. Mbok Niti ndhawuhi Demang Wanapawira: sadurunge ngayahi babad alas supaya nglakoni sesuci lan ngadani slametan. Upacara iki syarat kang wus ditindakake para leluwure kawit biyen lan minangka sarana supaya manungsa bisa nyawiji lan nguwasani alam, kalebu roh-roh kang manggon ing alas wingit Nangka Dhoyong. Dene Nyi Niti bakal nyoba ‘rembugan’ karo Nyi Gadhung Mlathi; dhanyange Alas Nangka Dhoyong!

Demang Wanapawira, dirowangi Nyi Niti, semadi ing sangisoring wit ringin putih kang eyub, yaiku wit ringin kang mapan ing tengahing Alas Nangka Dhoyong. Nyi Gadhung Mlathi mapan ing wit iku (dhanyang panguwasa Alas Nangka Dhoyong). Demang Wanapawira lan Nyi Niti wus rila yen mengkone dimangsa Nyi Gadhung Mlathi uger titah mbukak alas dadi kutha praja bisa kasembadan. Ana sawenehing banaspati kang ngreridhu Demang Wanapawira lan Nyi Niti kang lagi samadi, nanging bisa ditelukake. Nyi Gadhung Mlati marani saklorone. Dumadi peperangan rame antarane Nyi Gadhung Mlathi lan Nyi Niti. Marga ora ana kang kasoran, mula padha ngadani pirembagan. Nyi Gadhung Mlati menehi palilah alase bisa dibukak didadekke kutha praja kanthi sarat: digawekke sajen Mahesa Lawung. Uwit panggone Nyi Gadhung Mlathi ora pikantuk ditegor lan Gadhung Mlati diwenehi panguripan dumadi dhanyang penunggu; yaiku roh kang njaga masyarakat mengkone. Nanging, Nyi Gadhung Mlati njaluk supaya digawekke sesajen saben taune minangka wujud panjagane masyarakat sing bakal ngenggoni alas iku mengkone. Nyi Niti nyarujuki panjaluke Nyi Gadhung Mlathi. Dene Nyi Gadhung Mlathi banjur mrentah para lelembut supaya nyengkuyung ngewangi pagawean mbukak alas supaya gancar anggone nandangi.

Sawuse nyekel rembug karo Gadhung Mlathi, Demang Wanapawira sowan ing ngarsane Adipati Wiranegara kanggo nyuwun panyengkuyung manawa enggal dilaksanakake babad alas. Demang Wanapawira lan Nyi Niti ngumpulke rakyat Piyaman lan sakiwatengene banjur gawe sesajen. Rakyat Paliyan dicritakake uga melu ngrewangi mbabad alas. Dene masyarakat Paliyan rewang-rewang mbabad alas iki marga wus kulina ngayahi mbabad alas; yaiku mbabad Alas Giring rikala semana, sadurunge adage Kraton Mataram. Rakyat Piyaman lan Paliyan gotong-royong mbukak alas. Rangga Puspawilaga rumangsa lingsem lan meri marang tandang gawene Wanapawira. Pakaryan mbabad Alas Nangka Dhoyong rampung. Alas wus dumadi kutha praja. Demang Wanapawira kasil ngayahi titahing ratu lan nunggu bebungah saka Sultane.

Pasar dibukak dening Adipati Wiranegara kanggo ngembangake lan ngrembakakake ajuning kutha. Pasar Nangka Dhoyong, tengere pasar iku, mapan ing wilayah Seneng lan minangka pasar kang rame banget. Adipati Wiranegara ngalembana Wanapawira kang bisa malik alas gung mijil kutha. Kacarita, ana sawijining putri saka Kepanjen Semanu (putra-putrine Panji Harjadipura) aran Rara Sudarmi ditutake Mbok Tuminah teka ing Pasar Seneng. Angkahe Sang Putri kanggo nonton lan ngrasakake kahanan pasar anyar kang lagi wae dibukak. Tekane Rara sudarmi ing Pasar Seneng bareng karo jumedhule Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Weruh Rara Sudarmi, Puspayuda rena marang dheweke. Puspayuda banjur nggodha Rara Sudarmi. Rara Sudarmi ora sudi. Banjur, dumadi padudon rame. Demang Wanapawira kang kepeneran uga ana ing Pasar Seneng ngleremke loro-lorone. Kaya dene Puspayuda, mangerteni Rara Sudarmi kang sulistya, ing manahe Demang Wanapawira sajatine uga tuwuh rasa tresna marang Rara Sudarmi. Puspayuda banget murkane marang Demang Wanapawira. Puspayuda ngelek-elek lan nantang Demang Wanapawira. Ananging ora dumadi pasulayan. Demang Wanapawira nglilih Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah supaya enggal sumingkir saka pasar. Dene Puspayuda bali ing Siraman, banjur matur marang bapane: nyuwun supaya dilamarake Rara Sudarmi ing Kepanjen Semanu.

Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah mampir ing daleme Nyi Niti. Ing crita iki diterangake yen Nyi Niti iku satemene isih kaprenah sadulur karo Rara Sudarmi, yaiku sadulur adoh saka ramane, Panji Harjadipura. Rara Sudarmi nyuwun pitulungan marang Ki Niti lan Nyi Niti prakara kang lagi wae ditemahi ing Pasar Seneng: dheweke bakal dicidrani Puspayuda, putrane Rangga Puspawilaga. Ora watara suwe, Demang Wanapawira tumekeng kana lan tansaya gedhe krentege marang Rara Sudarmi meruhi Rara Sudarmi prapta ing omahe mbakyune. Ing jroning manah, Demang Wanapawira ngersakke Rara Sudarmi. Candhaking pangangkah, kanyata Mbok Nitisari njodhokake Demang Wanapawira klawan Rara Sudarmi. Cekaking carita, Demang Wanapawira lan Rara Sudarmi padha prajanji disekseni Ki Niti dan Mbok Nitisari.

Rangga Harjadipura ing Kepanjen Semanu nampa praptane Rangga Puspawilaga kang duwe maksud nglamar Rara Sudarmi kanggo putrane, Puspayuda. Panji Harjadipura nulak kanthi alus marga akeh pawongan wus nglamar Rara Sudarmi. Praptane Puspawilaga kesaru tekane Demang Wanapawira, Ki Niti, lan Mbok Niti kang tindak Semanu kanggo ndherekke Rara Sudarmi lan Mbok Tuminah. Mrangguli kasunyatan iku Rangga Puspawilaga ngelek-elek lan murka marang Demang Wanapawira: geneya Demang Wanapawira tansah munggel pangangkahe. Rangga Puspawilaga banjur oncat saka Semanu. Sawuse Panji Harjadipura diaturi kedadeyan kang ditemahi Rara Sudarmi, piyambake nyrengeni putrane marga ora pantes lan ngisinake sawijining putri panji lelungan ing pasar tanpa lilah. Ananging, Mbok Tuminah lan Demang Wanapawira nyritakake kedadeyan sanyatane lan wewatekane Puspayuda marang Panji Harjadipura. Saengga, Harjadipura lerem dukane.

Wewangunan ing Kutha Praja tilase Alas Nangka Dhoyong tansaya akeh, rame, lan ngancik rampung. Sanajan mangkono, marga rasa kuciwane kang rumangsa tansah dialang-alangi Wanapawira, Rangga Puspawilaga ngirim ‘para jago’ sarta sakehing bala kanggo merjaya Demang Wanapawira apa dene Nyi Niti. Upaya iku tansah ora kasil. Mriksani lan mireng trekahe Rangga Puspawilaga kang kaya mangkono, Adipati Wiranegara ngawasi tindak-tanduke Rangga Puspawilaga. Samantara, Kutha Praja wus dumadi lan bakal diresmekake dening Sultan Hamengkubuwana I. Kanggo mahargya acara,Panji Harjadipura usul diadani sayembara njemparing, kanggo golek jodho tumrape Rara Sudarmi, uger akeh para punggawa sarta pawongan kang nglamar Rara Sudarmi. Sayembara njemparing bakal kaleksanan kanggo ngramekake peresmian kutha praja Gunungkidul kang anyar.

Adipati Wiranegara sepisan maneh ngalembana Demang Wanapawira marga bisa mangun kutha praja kang asri lan endah. Adipati Wiranegara nglapurake karyane Demang Wanapawira marang Sultan Hamengkubuwana lumantar Patih Danureja. Alas Nangka Dhoyong malih dadi kutha kang asri. Rakyat padha remen lan muji Demang Wanapawira. Mangerteni kahanan iki, Rangga Puspawilaga panas tambah panas atine lan irine. Marga wus peteng pikire, Rangga Puspawilaga minta sraya Maling Aguna (sawijining tokoh saka wewengkon Bantul) lan sagrombolan jago liyane supaya merjaya Adipati Wiranegara, Demang Wanapawira, Nyi Niti, lan Panji Harjadipura kanthi maksud madeg Adipati Gunungkidul lan musna kabeh wong-wong kang dianggep mungsuh. Panji Harjadipura meruhi rencana ala iku banjur lapuran marang Patih Danureja. Patih Danureja ngutus Raden Mas Baskara kanggo nggulung komplotane Puspawilaga.

Peresmian kutha kabupaten ing tilase Alas Nangka Dhoyong kalaksanan. Sadurunge gawe ontran-ontran, Maling Aguna lan balane ditangkep. Sayembara njemparing kawiwitan. Puspawilaga melu sayembara. Demang Wanapawira menang ing sayembara. Sultan Hamengkubuwana I maringi tetenger Kutha Nangka Dhoyong kanthi njupuk nama saka ‘Wanapawira’ digabungke nama ‘Nitisari’, dumadi ‘Wanasari’. Saiki lumrah kaserat ‘Wonosari’. Ana maneh sawetara panemu yen nama kutha praja Gunungkidul kang dumadi saka mbabad alas iki asal saka ‘Wana’ kang ateges ‘alas’, lan tembung ‘asri’ kang marga gotheking pocapan dadi ‘sari’ ateges ‘endah’. Minangka sesulih, Demang Wanapawira diangkat dadi adipati kanthi gelar Adipati Wiranegara II. Panji Harjadipura diangkat dadi patih panitipraja Kabupaten Gunungkidul. Ing wekasan, Wanapawira lan Rara Sudarmi nyawiji. Mangkono Wanapawira, (‘Wana’ memper ‘wono’ ateges ‘alas’, ‘pawira’ ateges ‘wong lanang-kendel-prajurit’)], bisa ‘mbabad’ samubarang kadurakan kang ana ing sakiwatengene, kepara kang tumanem jero ing manahe, dhewe. Yaiku ‘alas rowe’ ing atine. Tamtu wae sinengkuyung ‘ngelmu’ lan ‘sadulur’ kang bisa ndadekake piyambake ‘tukang babad’, kang satemene.

Sumber crita iki saka crita lesan (waca: crita rakyat) kang ‘sawetara’ isih ngrembaka ing wewengkon Gunungkidul sisih lor-kulon. Katuturake dening Sastra Suwarna, mantan Kadhus Piyaman I-Gunungkidul, kanthi owah-owahan kang rinasa prelu kanggo panulisan. Ana maneh sawetara carangan kang ‘uga’ isih ngrembaka ing wewengkon Karangmojo-Ponjong-Semanu babagan dumadine Kutha Wonosari Kabupaten Gunungkidul; kang surasane rada beda ‘kepentingan’ karo crita lesan versi iki. Utawa versi babad sing ateges ‘buku, naskah’, kang ‘sumimpen rapet’ ing jeroning Kraton Ngayogyakarta.
Sumber Dari : Wayang

Senin, 02 April 2012

Dolalak (Tarian Khas Purworejo)

Dolalak (Tarian Khas Purworejo).
Kesenian rakyat asli purworejo ini hampir mirip dengan Tari Angguk yang berkembang di daerah perbatasan Yogyakarta, mungkin karena keadaan kultur sosial budaya dimana sebuah kesenian itu berkembanglah yang neyebabkan Seni Tari Dolalak ini menyerupai Tari Angguk (purworejo) autaupun Tari Angguk Patumbak.

Definisi Seni Tari Dolalak (Pengertian Tari Dolalak).
Tarian dolalak adalah warisan budaya/peninggalan pada zaman penjajahan Belanda.
Tarian khas kabupaten Purworejo ini merupakan seni tarian rakyat hasil akulturasi budaya barat dan timur, yang hingga kini, telah menjadi salah satu khas yang dimiliki kabupaten Purworejo Jawa Tengah.

Tarian dolalak terbilang unik dan memiliki kekhasan serta daya tarik sendiri, yang boleh jadi tidak ditemukan di dalam seni tari lain. Keunikan tari dolalak terletak pada gerak dansa dan rampak pada barisan, seperti layaknya para serdadu (sekarang mungkin tari poco-poco). Selain itu, aksesoris busana yang dikenakan para penarinya pun bernuansa serdadu Belanda. Mulai dari kostum, asesoris pangkat, rumbai pada baju topi dan kaca mata. Dan dalam pertunjukanya, penari-penari Dolalak bisa mengalami trance, yaitu suatu kondisi mereka tidak sadar karena sudah begitu larut dalam tarian dan music, sehingga tingkah mereka bisa aneh-aneh dan lucu.

Asal-Usul Tarian Dolalak (Asal Mula Tarian Dolalak).
Konon, di kabupaten Purworejo yang merupakan awal kemuculan dan perkembangan dolalak. Dahulu banyak terdapat tangsi atau barak serdadu Belanda. Di saat senggang, untuk melepaskan penat dan lelah setelah bertugas di medan tempur. Serdadu Belanda lalu mengisinya dengan bernyanyi dan menari. Kebiasaan itu, kerap disaksikan warga sekitar tempat tangsi itu berdiri. Dari sanalah akhirnya mulailah warga sekitar, mengemas dan mengembangkannya menjadi sebuah kesenian baru, yang sekarang di sebut Dolalak.

Asal-Usul Nama Dolalak (Asal Mula Nama Dolalak).

Penamaan dolalak sendiri berasal dari notasi Do-La-La yang mengiringi gerak dansa dalam tarian ini. Dalam perkembangannya, iringan musik tarian dolalak menggunakan instrumen musik jidur, terbang, kecer, dan kendang. Sedang untuk iringan nyanyian menggunakan syair-syair dan pantun berisi tuntunan dan nasehat. Isi syair dan pantun yang diciptakan, campuran dari bahasa jawa dan bahasa indonesia sederhana. Dan seiring perkembangan zaman dan teknologi, kemudian tarian Dolalak sekarang sudah diringi dengan musik modern, yaitu keyboard. Lagu-lagu yang dimainkan pun bervariasi dan beragam.

Perkembangan Tari Dolalak.
Tari Dolalak biasa di pertunjukan pada saat ada acara kajatan khitanan dan pernikahan atau pada acara pesta/perayaan tertentu. Dolalak semakin populer di kalangan generasi muda, bahkan sudah melanglang ke beberapa negara di Asia dan Erop, tentunya ini tidak luput dari peran
Pemerintah Daerah Purworejo yang dengan gencar, terus mengembangkan dan melestarikan kesenian asli daerah Purworejo ini. Bahkan di setiap event-event tingkat nasional kesenian Dolalak seringkali tampil sebagai suatu kesenian yang unik. Dan setiap lomba-lomba kesenian tingkat nasional kesenian Dolalak sering menjuarai.

Di tengah banyaknya hasil karya anak bangsa, tai dolalak merupakan karya seni dari Purworejo patut di jaga kelestarianya.
 
© Copyright 2012 Oca Sulistya
Theme by Oca Sulistya