Senin, 27 Februari 2012

Dalang Jliteng Suparman

Dalang Ki Jlitheng Suparman bisa dibilang dalang nyentrik dan unik. Sejak tahun 2000,Jlitheng mengusung apa yang disebutnya Wayang Kampung Sebelah (WKS) untuk menyampaikan berbagai kritikan sosial. Jlitheng sendiri memang memiliki darah dalang dari kakeknya yang tinggal Wonogiri.
Saat kelas IV SD,Jlitheng kecil yang tinggal di Kampung Gremet,Manahan,Solo pindah ke Ngadirojo,serumah dengan kakeknya,Ki Guno Sudarjo. Melihat aktivitas kakek dan pamannya yang juga seorang dalang dan sering diajak pentas,ia mulai belajar dan tertarik menjadi dalang.

Sistem belajar yang ia dalami bukan formal dengan mendapat arahan setiap waktu. Jlitheng belajar sendiri dari pengamatan,berlatih sendiri dengan sesekali mendapat arahan dari kakek atau sistem nyantrik. Saat menggembala ternak pun ia sempatkan untuk mendalang dengan disaksikan teman-temannya di ladang memakai media dedaunan sebagai wayangnya. Sejak saat itu,kemampuannya mulai terlihat dan mendapat perhatian dari kakek dan pamannya. Awal jadi dalang yaitu saat ikut pentas kakek dan paman. Dalam pentas itu ia jadi dalang untuk pembukaan,istilahnya mucuki (jawa),memperagakan satu fragmen sekitar setengah jam hingga satu jam.

Pengalaman manis tersebut membuat dirinya makin bersemangat menjadi dalang. Meski masih kecil,ia mendapat kepercayaan menjadi pembuka pementasan wayang. Tepuk tangan penonton,pujian yang datang,membuatnya bangga dan bersemangat.
Sejak Kelas II SMP,Jlitheng remaja kembali ke kampung kelahirannya di Solo. Meski pindah kota,pamannya yang dalang sekaligus buruh bangunan di Solo tersebut sering mengajaknya ke Wonogiri untuk pementasan. Karena belajar pertama di Wonogiri,banyak yang mengira bahwa Jliteng adalah orang Wonogiri,padahal ia asli lahir di Solo. Hingga kuliah,Jlitheng lebih banyak mendapat tawaran pentas di Kota Gaplek.

Pada 1960-an hingga 1970-an, dalang bukan profesi utama. Dalang umumnya memiliki penghasilan utama dari pertanian atau buruh. Seperti kakeknya yang seorang petani dan pamannya buruh. Sehingga saat itu belum terdengar kabar ada dalang yang ngetop dan kaya raya. Pada waktu itu pembayarannya,memakai sistem kompensasional,yaitu dibayar selain dengan uang,juga dengan bahan makanan,sajian saat pentas atau peralatan rumah tangga.

Waktu kecil ia tidak berpikir soal profesi dalang dari aspek ekonomi,bayarannya berapa. Tapi aspek kesenangan dan kepuasan. Maka ndalang tetap berlanjut hingga sekarang.
Perjalanan pendidikan pedalangan makin matang setelah ia mendapatkan pendidikan di SMKI Solo atau yang kini disebut SMKN 8 Jurusan Pedalangan. Setelah lulus,ia masuk Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jawa UNS. Beberapa prestasi awal kariernya yaitu saat kelas 1 SMP meraih juara II lomba dalang se-Wonogiri. Saat kuliah,ia masuk 10 besar dalang unggulan dalam Festival 50 Dalang di Solo.

Sumber Lain : SOLOPOS

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2012 Oca Sulistya
Theme by Oca Sulistya